Minggu, 06 Oktober 2013

Keinginan tidak selamanya merupakan kebutuhan


Udah dari lama pengen ngebahas masalah ini.
Tapi belum berani dan takut salah. Atau bahkan ada yang ngerasa sakit kalau baca tulisan saya ini.
Tapi saya fikir-fikir lagi, ini saatnya meluapkan apa yang selama ini saya rasain dan alamin.
Ini adalah salah satu proses, proses menuju kebahagian yang ingin saya dapatkan.
Okeee.. mulai buat ceritanya....

Bisa dibilang kata-kata itu doa. Saya pernah ngerasainnya.
Dua tahun yang lalu, saya sering bahas masalah keinginan menikah dengan orang terdekat saya.
Saat itu saya sadar, perbedaan agama merupakan satu hal yang sangat menghalangi.
Dan akhirnya saya memutuskan untuk tidak meneruskan hubungan beda agama itu, saya sadar akan terlalu sulit dan tidak mudah menjalani hubungan beda agama yang apabila terus dipaksakan akan memberikan beban terhadap diri sendiri dan orang sekitar.

Setelah hubungan itu berakhir, akhirnya saya bertemu dengan teman SMP saya yang saya sendiri baru kenal dekat dengan dia disaat saya sudah tidak duduk dibangku sekolah. Yaa.. teman lama. Namun tidak bisa dibilang teman lama karena saya pun tidak mengenal dia saat SMP. Singkat cerita saya memutuskan untuk menjalin hubungan dengan "teman SMP" saya ini. Pertama kali saya kenal dia, saya nilai dia orang yang baik, sholeh dan dewasa. Tetapi setelah berjalannya waktu mulai terlihat aslinya, dia orang yang super cuek, super-super cuek. Beberapa pertengkaran sering terjadi gara-gara kecuekan dia, dari mulai hal yang paling sepele sampe hal yang besar akhirnya datang. Saya baru menyadari setelah beberapa bulan berjalan, saya tidak pernah bertemu dengan keluarganya. Saya sadar keluarga merupakan faktor penting dalam menjalin suatu hubungan.

Akhirnya saya sadar, ada beberapa kenyataan yang harus saya jalani.
Hubungan saya dengan teman SMP saya ini memang harus terhalangi oleh orang tuanya, terutama mamanya.
Saya tidak pernah menyalahkan mamanya atau bahkan benci kepada mamanya, saya sadar benar apa yang mamanya inginkan untuk anak laki-lakinya yang pertama. Dia akan menjadi tulang punggung keluarga disaat dewasa nanti (walaupun sebenarnya saat ini dia sudah dewasa), mamanya memiliki beberapa kriteria calon menantu untuk anaknya, dan itu semua pasti merupakan kriteria calon menantu sempurna.
"Bu, saya memang bukan wanita yang baik. Saya tidak sempurna, tapi seharusnya Ibu tau seberapa besar rasa sayang saya sama anak Ibu. Seberapa besar kepedulian yang saya berikan untuk anak Ibu selama ini. Apakah hal tersebut tidak dapat menjadi penilaian untuk saya dapat masuk ke dalam keluarga Ibu? Apakah saya terlalu buruk untuk menjadi seorang menantu? Andai saya tau apa hal yang memang menjadi penolakan selama ini, mungkin saya akan menyerah. Saya akan meninggalkan anak laki-laki yang sangat Ibu sayangi itu. Saya tidak akan memaksakan suatu hal yang memang tidak akan pernah Ibu terima. "
Hal itu yang ingin saya sampaikan kepada mamanya, namun saya tahu. Itu ga mungkin. Yang harus saya tunggu adalah sebuah keajaiban dan sebuah kesabaran.

Dan... Pada akhirnya karena suatu hal dia meninggalkan saya, dan saya menyadari mungkin itu memang kesalahan saya. Dan saya memutuskan untuk melupakan dia, dengan semua masalah yang saya alami dengannya selama ini, sifat cueknya, mamanya dan semuanya.

Sampai pada akhirnya saya bertemu dengan seseorang yang umurnya 6 tahun dia atas saya. Kalau ada yang pernah baca postingan saya  sebelumnya tentang Alasan Dari Sebuah Perpisahan, ituuuuuuu ituuuuuu cerita yang saya buat sendiri (fiktif) tapi ternyata ada beberapa yang menjadi kenyataan.
Gak lama saya kenal dengan "aa" ini, tapi saya sudah dikenalkan dengan keluarga. Keluarga yang nyaris sempurna sesuai keinginan saya. Mamanya yang sangat baik, yang sangat saya harapkan dapat menggantikan sosok mama saya yang telah tiada. Mama yang memberikan perhatian yang selama ini sudah tidak pernah saya dapatkan. Mengapa saya sangat sensitif masalah "orang tua pacar" terutama mamanya, karena apa yang saya alami di tahun 2010 tepatnya di tanggal 13 Maret, itu bener-bener ngehancurin perasaan saya, hidup saya, saya ditinggalkan oleh orang yang paling saya cinta di dunia ini, MAMA. Saya butuh hangatnya kasih sayang mama lagi, saya butuh perhatian mama lagi, saya ingin sosok mama lagi, tapi bukan mama (istri baru papa) yang saya mau, dan insya allah tidak ada pikiran sedikitpun papa saya untuk menikah lagi. Saya sangat beruntung memiliki papa yang mencintai mama sampai akhir hayatnya. Dari situlah saya selalu berfikir, saya menginginkan sosok mama lagi, tapi mama dari calon suami saya. Apa itu salah ? Apa keinginan saya terlalu berlebihan ?

Dengan aa ini, saya merasa mendapatkan arti hidup yang baru. Diperhatikan bukan oleh lelaki saya tapi plus dengan keluarganya. Saya bahagia, apa yang saya inginkan akhirnya tercapai. Tapi pada suatu saat, saya ingat di hari Jumat awal bulan September 2013, orang tua aa ingin bertemu dengan saya dan mengobrol. Hari itu bener-bener sempurna, solat berjamaah di rumah aa, dengan papanya, mamanya dan aa. Moment yang tidak pernah saya alami sebelumnya, benar-benar keluarga yang sempurna. Hampir saya meneteskan air mata disaat akan selesai solat. Tetesan air mata kebahagiaan.

Setelah solat magrib berjamaah, papanya menyampaikan beberapa nasehat. Saya sangat mengahargai apa yang papanya sampaikan kepada saya dan aa. Saya paham apa keinginan keluarganya, mengingat usia aa yang sudah tidak muda lagi, 29 tahun merupakan usia yang sudah matang untung seorang laki-laki. Papanya menyampaikan bahwa seorang perempuan dan laki-laki tidak baik berhubungan apabila tidak dalam ikatan pernikahan. Beliau bersedia menjembatani pernikahan kita, dengan cara menikahkan kita dalam waktu dekat. Dan apabila tidak, maka beliau akan meng-cut hubungan kita.
Sumpah! hari itu saya bener-bener kaget, deg-degan, gak karuan, gatau harus ngomong apa. Tapi kayaknya saya emang ga harus ngomong apa-apa karena itu bukan pertanyaan yang ditujukan kepada saya, tapi kepada anaknya (aa). Dan akhirnya aa memutuskan untuk menikahi saya di tahun 2014, awalnya saya setuju dengan hal tersebut, karena ini memang hal yang saya inginkan selama ini "menikah".

Tapi entah, lama kelamaan saya tiba-tiba berubah pikiran, saya merasa kalau diri saya belum siap untuk "menikah". Entah kenapa saya tiba-tiba berubah, awalnya saya berfikir mungkin ini efek syndrome sebelum menikah, tapi saya sadar tenyata bukan. Ini merupakan pertanda kalau saya memang belum benar-benar siap untuk menikah, untuk menjadi seorang istri dan menjadi seorang Ibu. Sehingga pada akhirnya saya memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini karena saya tidak ingin aa membuang-buang waktunya hanya untuk dekat dengan saya yang tidak pasti ini, sedangkan melihat keluarganya saya merasa mereka sangat menginginkan aa untuk cepat menikah, namun mungkin bukan dengan saya, karena saya tidak bisa.

Pernikahan yang saya inginkan, sekali seumur hidup saya. Saya tidak mau menyesal. Dan saya tidak ingin mengecewakan orang yang akan menjadi pendamping hidup saya nanti. Saat ini saya mulai melanjutkan hidup saya yang baru, dengan pemikiran-pemikiran baru, dan saya sedang mempersiapkan diri saya untuk lebih baik lagi, agar nanti pada saatnya telah tiba, saya bisa bilang "SAYA SIAP UNTUK MENIKAH".

Dan dari semua kerjadian yang terjadi kemarin mungkin ada hikmahnya, mungkin Allah sedang merencanakan hal yang lebih baik untuk SAYA, DIA dan AA :)
Alasan Dari Sebuah Perpisahan
Alasan Dari Sebuah Perpisahan

Kamis, 03 Oktober 2013

Lirik Raisa - Pemeran Utama



Yaa... Aku mengerti betapa sulit untuk kembali.
Dan mempercayai penipu ini sekali lagi.

Reff :
Pemeran utama hati, pemicu detak jantung ini.
Baru kini ku sadari, setelah berlayar pergi.
Itu kamu…..

Yaa... Aku wanita yang seharusnya lebih perasa.
Tapi malah aku mencabik,
Lukai kau yang baik dan buat hatimu sakit.
Meski malu untuk akui.
Aku mau kau kembali……

Reff 2 :
Pemeran utama hati, pemicu detak jantung ini.
Baru kini ku sadari, setelah berlayar pergi.
Pemicu detak jantung ini, baru kini ku sadari.
Setelah berlayar pergi. Itu kamu….